Ibnul Qayyim mengatakan bahwa fitnah itu ada dua macam: fitnah syubuhat -yang merupakan fitnah paling besar- dan fitnah syahwat. Seorang hamba dapat terjangkit dua fitnah ini sekaligus, atau terjangkit salah satu saja tanpa lainnya.
Fitnah syubuhat ini disebabkan oleh lemahnya seseorang akan ilmu dan kurangnya pengetahuan agama, apalagi kalau hal tersebut diiringi dengan niat jelek, serta keinginan untuk memuaskan hawa nafsu semata. Maka, dari sana akan timbul fitnah dan musibah yang sangat besar. Seperti halnya seorang hakim yang sesat dan berniat buruk dalam memutuskan suatu perkara, dia berada di atas hawa nafsunya, buta petunjuk, serta diiringi kebodohan terhadap apa yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya. Maka, dia termasuk golongan yang tercantum dalam firman Allah Ta’ala, yang artinya,
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.” (QS. An-Najm: 23).
Dan Allah Ta’ala menjelaskan pada kita, bahwa mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan kita dari jalan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shad: 26).
Fitnah syubuhat merupakan fitnah yang dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran dan kemunafikan. Fitnah ini timbul dari orang-orang munafik dan ahli bid’ah sesuai dengan tingkatan-tingkatan bid’ah mereka. Hal itu disebabkan adanya kesamaran antara yang haq dengan yang batil dan antara petunjuk dengan kesesatan dalam pemahaman mereka.
Dan tidak ada hal yang dapat menyelamatkan dari fitnah syubhat ini, kecuali mereka yang secara murni mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menerima segala keputusan beliau dalam segala urusan agama, baik dalam urusan yang kecil maupun yang besar, yang tampak ataupun yang tersembunyi.
Begitu pula dalam masalah akidah (keyakinan), amal perbuatan, hakikat, serta syariat agama ini. Maka, ia menerima tentang hakikat keimanan dan syariat Islam hanya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia tidak hanya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perkara tertentu saja, dan tidak dalam perkara lain. Seperti mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ibadah, tapi dalam hal akidah tidak. Karena ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup seluruh aspek yang dibutuhkan umat, baik dalam bidang ilmu, maupun amal.
Maka dapat disimpulkan, bahwa ajaran yang benar hanyalah ajaran yang secara langsung diambil dari beliau, bukan dari selainnya. Segala petunjuk yang haq (benar) adalah yang beliau bawa. Segala hal yang bertentangan dengan hal tersebut adalah sesat. Bila hal ini sudah tertanam pada diri seseorang, maka segala yang dia dengar akan ditimbang dengan timbangan syariat, apabila sesuai dia terima, tetapi apabila bertentangan dia tinggalkan. Inilah kunci selamat dari fitnah syubuhat. Semakin banyak yang dia perhitungkan, maka semakin jauh pula dia dari kesesatan, begitu juga sebaliknya, semakin banyak dia lewatkan tanpa pertimbangan, semakin jauh pula dia dari kebenaran. Di antara jalan-jalan timbulnya fitnah syubuhat ini adalah pemahaman yang salah, atau penukilan dari orang-orang dusta, atau berasal dari kebenaran yang samar dari seseorang. Juga dari niat yang buruk, serta hawa nafsu yang ditaati, maka ini termasuk kebutaan dalam ilmu dan buruknya keinginan.
Adapun jenis fitnah yang kedua adalah fitnah syahwat. Allah Ta’ala mengumpulkan penyebutan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya,
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَاقِكُمْ
“(Keadaan kalian) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah nikmati bagianmu.” (QS. At-Taubah: 69).
Yaitu mereka telah menikmati bagian mereka dari dunia ini dan syahwat (perhiasan)nya. Dan makna (الخلاق) adalah bagian yang telah ditentukan.
Kemudian, Allah Ta’ala berfirman,
وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا
“Dan kamu berbincang-berbincang dengan (hal yang batil) sebagaimana mereka telah memperbincangkannya.” (QS. At-Taubah: 69).
Yang dimaksud dengan perbincangan dengan yang batil di sini adalah syubuhat (kesamaran antara yang haq dengan yang batil).
Allah Ta’ala memberikan isyarat dalam ayat ini, bahwa rusaknya hati dan agama adalah buah dari menikmati bagian (dunia dan syahwatnya) dan memperbincangkan hal yang batil. Karena rusaknya agama bisa disebabkan oleh sebuah keyakinan yang salah, serta mengukapkannya dan bisa pula dikarenakan amal yang menyalahi (bertentangan) dengan ilmu yang benar. Yang pertama penyebabnya adalah bid’ah dan semisalnya, sementara yang kedua penyebabnya adalah buruknya amal perbuatan.
Yang pertama merupakan kerusakan dari sisi syubuhat, sedangkan yang kedua dari sisi syahwat. Oleh sebab itu, para ulama salaf mengatakan, “Waspadailah dua golongan manusia: pengekor syubuhat dan budak dunia.” Para ulama juga mengatakan, “Waspadailah bahaya ulama yang jahat dan ahli ibadah yang bodoh, karena bahaya keduanya bisa menimpa setiap orang.” Asal setiap bahaya (kerusakan) bermula dari mendahulukan akal nalar terhadap dalil wahyu, dan mengutamakan hawa nafsu dari akal sehat. Yang pertama merupakan asal mula fitnah syubuhat, sedangkan yang kedua merupakan asal mula fitnah syahwat.
Fitnah syubuhat bisa diantisipasi dengan keyakinan (ilmu), sedangkan fitnah syahwat mampu dicegah dengan sabar. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menjadikan kepemimpinan dalam agama berdasarkan dua hal ini.
Allah Ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24).
Ayat ini menunjukkan bahwa meraih kepemimpinan dalam agama hanya dapat diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan.
Allah Ta’ala juga mengumpulkan kedua sifat tersebut dalam firman-Nya,
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 3).
(وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ) menolak syubuhat dan (وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ) menolak syahwat. Maka, dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, akan tercegahlah fitnah syubuhat, sedangkan dengan kesempurnaan ilmu serta keyakinan akan tercegahlah syahwat. Hanya Allah Ta’ala saja tempat memohon pertolongan.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.Dzikra.com
Artikel terkait:
Jalan Keluar dari Fitnah (Bagian I): Makna Fitnah dalam al-Quran dan Sunnah
Jalan Keluar dari Fitnah (Bagian III): Peringatan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Terhadap Fitnah